This nice Blogger theme is compatible with various major web browsers. You can put a little personal info or a welcome message of your blog here. Go to "Edit HTML" tab to change this text.
RSS

Jumat, 25 Desember 2009

Etika Bisnis Seorang Muslim

Oleh : Merza Gamal | 13-Feb-2007, 21:17:02 WIB
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=19&jd=Etika+Bisnis+Seorang+Muslim&dn=20070213165533

Penulis : Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Sejak adanya kehidupan manusia di permukaan bumi, hajat untuk hidup secara kooperatif di antara manusia telah dirasakan dan telah diakui sebagai faktor esensial agar dapat survive dalam kehidupan. Seluruh anggota manusia bergantung kepada yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ketergantungan mutualistik dalam kehidupan individu dan sosial diantara manusia telah melahirkan sebuah proses evolusi gradual dalam pembentukan system pertukaran barang dan pelayanan. Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia dari zaman ke zaman, system pertukaran ini berevolusi dari bentuk yang sederhana kepada bentuk bisnis modern.

Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.

Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis yang dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) bagian, yakni sebagai berikut:
1. Kebebasan dalam Usaha
2. Keadilan Sosial
3. Tatakrama Perilaku Bisnis

Al Quran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al Quran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa' ayat 29.

Pengakuan Al Quran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang Muslim untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan harta miliknya, apakah dia akan menggunakan, menjual atau menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Quran memberikan kebebasan berbisnis secara sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol pertukaran juga dibebaskan, karena hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka didasarkan pada hukum natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan permintaan (supply dan demand).

Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan diartikan dapat menghapuskan semua larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat semua etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan semua transaksi, yakni:
1. Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang melakukan transaksi;
2. Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
3. Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
4. Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
5. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ru'yah)
6. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy- Syarth)

Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat luas. Ajaran Al Quran yang menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua, yakni bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.

Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah Al Israa' ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.

Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melakukan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan konsumen. Al Quran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan keras siapa saja yang melakukan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.

Islam juga peduli terhadap hukum perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja dengan yang mempekerjakan. Etika kerja dalam Islam mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya kesepakatan awal, dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan. Para pekerja juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif, dan effisien. Al Quran mengakui adanya perbedaan upah di antara pekerja atas dasar kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah Al Ahqaaf ayat 19, Surah Al Najm ayat 39-41.

Sungguh sangat menarik apa yang ada dalam Al Quran yang tidak membedakan perempuan dengan laki-laki dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang terungkap dalam Surah Ali' Imran ayat 195. Al Quran memerintahkan kepada manusia untuk bertindak jujur, tulus, ikhlas, dan benar dalam semua perjalanan hidupnya, dan hal ini sangat dituntut dalam bidang bisnis. Islam memerintahkan semua transaksi bisnis harus dilakukan dengan jujur dan terus terang, dan tidak dibenarkan adanya penipuan, kebohongan serta eksploitasi dalam segala bentuknya. Perintah ini mengharuskan setiap pelaku bisnis secara ketat berlaku adil dan lurus dalam semua dealing dan transaksi bisnisnya.

Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada penyelewelengan dan kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak professional. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullulah yang berbunyi "Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit." (Hadist diriwayatkan oleh H.R. Tirmidzi).

Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja jempolan seperti yang dinyatakan dalam Surah Al Qashash ayat 26. Standard Al Quran untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kompetensi seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting, karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi pemilik otoritas untuk melakukan investigasi sebelum ia menentukan seseorang dalam jabatan publik tertentu, terutama dalam posisi-posisi kunci dan pengambil keputusan.

Al Quran juga memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi (tabayyun) terhadap semua pernyataan dan informasi yang datang sebelum ia mengambil suatu keputusan dan melaksanakan sebuah aksi (tindakan), serta melaksanakan investigasi terhadap komoditas tertentu sebelum memutuskan untuk melakukan pembelian.

Dalam rangka penerapan keadilan dalam perilaku bisnis, Al Quran telah memberikan petunjuk-petunjuk yang pasti bagi orang-orang yang beriman yang berguna sebagai alat perlindungan sebagaimana yang diatur dalam Surah Al Baqarah ayat 282-283. Alat perlindungan yang dimaksud adalah membuat kontrak pada saat bisnis dilakukan, terutama untuk jual-beli yang dilakukan tidak dengan cara tunai (cash). Penulisan Kontrak tersebut harus disertai dengan saksi, minimal 2 (dua) orang laki-laki atau 1 (satu) orang laki-laki dan 2 (dua) orang perempuan. Perlindungan lainnya, bagi transaksi bisnis yang tidak dilakukan dengan tunai adalah jaminan barang milik pihak yang berhutang kepada pihak yang memberi piutang hingga seluruh transaksi pembayaran terakhir selesai dilaksanakan.

Dalam pandangan Al Quran, tanggung jawab individual sangat penting dalam sebuah transaksi bisnis. Setiap individu bertanggungjawab terhadap semua transaksi yang dilakukannya. Tidak ada seorangpun yang memiliki previlage tertentu atau imunitas untuk menghadapi konsekuensi terhadap apa yang dilakukannya. Dalam A Quran, hal tersebut merupakan alat pencegah terhadap terjadinya tindakan yang tidak bertanggungjawab, karena setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat.

Al Quran dan Hadist telah memberikan resep tertentu dalam tatakrama demi kebaikan seorang pelaku bisnis. Seorang pelaku bisnis diwajibkan berperilaku dengan etika bisnis sesuai dengan yang dianjurkan oleh Al Quran dan Sunnah yang terangkum dalam 3 (tiga) garis besar, yakni :
1. Murah Hati
2. Motivasi untuk Berbakti
3. Ingat Allah dan Prioritas Utama-Nya

Banyak ayat-ayat Al Quran dan Hadist Nabi yang memerintahkan kaum Muslimin untuk bermurah hati. Orang yang beriman diperintahkan untuk bermurah hati, sopan dan bersahabat saat melakukan dealing dengan sesama manusia. Al Quran secara ekspresif memerintahkan agar kaum Muslimin bersifat lembut dan sopan manakala berbicara dengan orang lain sebagaimana yang tercantum dalam Surah Al Baqarah ayat 83 dan Surah Al Israa' ayat 53.

Tindakan murah hati, selain bersikap sopan dan santun, adalah memberikan maaf dan berlapang dada atas kesalahan yang dilakukan orang lain, serta membalas perlakuan buruk dengan perilaku yang baik, sehingga dengan tindakan yang demikian musuh pun akan bisa menjadi teman yang akrab. Selain itu hendaknya seorang Muslim dapat memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan kapan saja ia dibutuhkan tanpa berpikir tentang kompensasi yang akan didapat.

Manifestasi lain dari sikap murah hati adalah menjadikan segala sesuatu itu gampang dan lebih mudah serta tidak menjadikan orang lain berada dalam kesulitan. Islam menginginkan para pemeluknya untuk selalu membantu, dan mementingkan orang lain lebih dari dirinya sendiri ketika orang lain itu sangat membutuhkannya dan berlaku moderat dalam memberikan bantuan.

Melalui keterlibatannya di dalam aktivitas bisnis, seorang Muslim hendaknya berniat untuk memberikan pengabdian yang diharapkan oleh masyarakat dan manusia secara keseluruhan. Cara-cara eksploitasi kepentingan umum, atau berlaku menciptakan sesuatu kebutuhan yang sangat artificial, sangat tidak sesuai dengan ajaran Al Quran. Agar seorang Muslim mampu menjadikan semangat berbakti mengalahkan kepentingan diri sendiri, maka ia harus selalu mengingat petunjuk-petunjuk berikut:
a. Mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan orang lain;
b. Memberikan bantuan yang bebas bea dan menginfakkannya kepada orang yang membutuhkannya;
c. Memberikan dukungan dan kerjasama untuk hal-hal yang baik.

Seorang Muslim diperintahkan untuk selalu mengingat Allah, meskipun dalam keadaan sedang sibuk oleh aktivitas mereka. Umat Islam hendaknya sadar dan responsive terhadap prioritas-prioritas yang telah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta. Prioritas-prioritas yang harus didahulukan adalah:
a. Mendahulukan mencari pahala yang besar dan abadi di akhirat ketimbang keuntungan kecil dan terbatas yang ada di dunia;
b. Mendahulukan sesuatu yang secara moral bersih daripada sesuatu yang secara moral kotor, meskipun akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar;
c. Mendahulukan pekerjaan yang halal daripada yang haram;
d. Mendahulukan bisnis yang bermanfaat bagi alam dan lingkungan sekitarnya daripada bisnis yang merusak tatanan yang telah baik.

Dari bahasan singkat di atas dapat disimpulkan, bahwa perilaku bisnis yang baik dan benar telah di atur dengan seksama di dalam Al Quran sebagai pedoman hidup yang komprehensif dan universal bagi seluruh umat Islam. Dengan demikian marilah kita mulai menerapkan etika-etika bisnis menurut ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallullahu Alaihi wa Sallam sejak empat belas abad yang lalu tanpa perlu bimbang dan ragu lagi.

Analisis penerapan etika bisnis di pt. astra internasional, tbk/--2008

http://elibrary.mb.ipb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=mbipb-12312421421421412-italestari-778

Business Ethics Analize at PT Astra International, Tbk
Master Theses from MBIPB / 2009-02-12 16:24:37
Oleh : Ita Lestari, MB-IPB
Dibuat : 2009-02-12, dengan 9 file

Keyword : Etika Bisnis Perusahaan, GCG, PT Astra Internasional, Tbk, Analisis Thurstone, Analisis Kruskal Wallis, Analisis Mann Whitney.
Subjek : MANAJEMEN STRATEGI
Nomor Panggil (DDC) : 24(36) Les a

RINGKASAN EKSEKUTIF

ITA LESTARI, 2009. Analisis Penerapan Etika Bisnis di PT Astra Internasional, Tbk. Di bawah bimbingan AIDA VITAYALA HUBEIS dan NUNUNG NURYARTONO.

Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Di dalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Perkembangan pesat teknologi setelah perang dunia kedua memacu dunia bisnis di negara - negara kapitalis menjadi semakin dinamis, tetapi sayangnya kurang disertai dengan pemikiran dan kesadaran moral para pelakunya, sehingga menimbulkan skandal - skandal bisnis yang merugikan masyarakat, seperti hancurnya enron dan Lehman Brothers. Oleh karena itu, sejak tahun 1970 - an, etika dalam dunia bisnis menjadi semakin sering dibicarakan dan dituntut realisasinya. Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG (Good Corporate Governance) diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan jika tidak ingin mengalami hal sama dengan kasus Enron maupun Lehman Brothers. Menurut hasil penelitian SWA (2005), PT Astra Internasional Tbk (AI) merupakan salah satu perusahaan publik yang telah menerapkan tata kelola perusahaan. Astra Internasional berhasil bertahan setelah menerapkan tata kelola perusahaan sejak tahun 1987 (21 tahun). Dengan pengalamannya selama kurang lebih 50 tahun dan penerapan etika bisnis perusahaan selama 21 tahun, maka menjadi pertimbangan yang menarik untuk lebih meneliti AI dilihat dari etika bisnis yang telah diterapkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan gambaran mengenai penerapan etika bisnis yang telah diterapkan perusahaan agar kasus Enron maupun Lehman Brother tidak terjadi di PT Astra Internasional, Tbk.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah (1) bagaimana karakteristik karayawan AI dan karyawan Outsourcing ? (2) bagaimana penerapan etika bisnis AI terutama dari segi prinsip - prinsip GCG, (3) bagaimana manajemen hubungan antar pegawai, khususnya antara staff dan manajer AI serta karyawan outsourcing yang bekerja di AI, serta (4) bagaimana pemahaman karyawan AI dan karyawan outsourcing terhadap budaya perusahaan. Dari permasalahan yang diungkapkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis karakteristik karyawan AI dan outsourcing yang diharapkan dapat memperkuat pemahaman responden terhadap etika bisnis (2) menelaah penerapan etika bisnis AI terutama dari segi prinsip - prinsip GCG serta etika dalam bekerja, (3) menganalisis manajemen hubungan antar pegawai mengenai pemahaman terhadap nilai - nilai etika bisnis perusahaan, khususnya antara staff dan manajer AI serta karyawan outsourcing yang bekerja di AI, dan (4) menganalisis pemahaman karyawan terhadap budaya perusahaan.
Penelitian dilaksanakan di PT Astra Internasional, Tbk (AI), pada bulan Mei hingga Agustus 2008. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus secara kualitatif dan kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui individual in - depth interview, observasi, penyebaran kuesioner, dan studi literatur. Metode pengambilan sampel yang dilakukan adalah non-probability sampling menggunakan purposive sampling untuk penentuan departemen dan karyawan outsourcing dan sensus untuk penentuan responden karyawan AI. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 45 orang, terdiri dari 31 karyawan AI dengan posisi di bawah manajer, 3 karyawan AI dengan posisi manajer, dan 11 karyawan outsourcing. Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif, uji Thurstone, uji Indeks Skoring, uji Rentang Kriteria, uji Mann Whitney, serta Uji Kruskal Wallis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesuai dengan prinsip GCG, yaitu accountability, independency, transparency and disclosure, responsibility, serta fairness dan ditambah dengan honesty (kejujuran), ternyata bagi manajer dan karyawan outsourcing, honesty merupakan faktor yang paling diprioritaskan diantara prinsip - prinsip GCG lainnya. Prioritas selanjutnya adalah independency, transparency and disclosure, accountability, responsibility, dan terakhir adalah fairness. Tetapi bagi staff AI, ternyata prinsip terpenting adalah independency, dilanjutkan dengan responsibility lalu honesty. Penerapan etika dalam bekerja menempatkan kejujuran sebagai faktor yang paling diprioritaskan dan hampir semua responden mengatakan bahwa berpartisipasi dalam company event merupakan salah satu kegiatan perusahaan yang tidak harus menjadi prioritas utama, bahkan ditempatkan di pilihan terakhir dalam faktor penilaian etika dalam melaksanakan pekerjaan. Umumnya baik karyawan AI maupun karyawan outsourcing mengetahui bagaimana etika bisnis diterapkan yaitu melalui observasi lingkungan bekerja, dilanjutkan dengan mengetahui dari atasan. Untuk pemahaman terhadap nilai - nilai etika bisnis yang diterapkan oleh perusahaan, masih terdapat perbedaan pemahaman terutama dari faktor accountability, responsibility, serta transparency and disclosure. Perbedaan pemahaman ini masih dianggap wajar oleh perusahaan karena perbedaan tersebut lebih kepada perbedaan pola pikir masing - masing tingkat jabatan. Dalam penerapan terhadap nilai-nilai budaya perusahaan juga masih terdapat perbedaan pemahaman, yaitu jika menghadapi persoalan dan perasaan boleh menyatakan secara terbuka. Selanjutnya, nilai untuk melakukan sesuatu secara bekerjasama (teamwork) merupakan nilai tertinggi atau nilai yang dianggap paling penting oleh karyawan Astra Internasional, Tbk, sedangkan nilai terendah yang dianggap oleh karyawan Astra Internasional, Tbk adalah apa yang dipandang perlu oleh karyawan terkadang dipandang salah oleh manajer. Untuk manajer AI, nilai terendah adalah "seia - sekata" antara atasan dan bawahan dalam melakukan tindakan. Bagi karyawan outsourcing, nilai budaya perusahaan yang kurang dinilai baik oleh perusahaan adalah taktis, cerdik, dan sedikit curang adalah cara berpikir. Selanjutnya, terdapat hubungan baik antara etika bisnis, etika bekerja, dan budaya perusahaan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa masih terdapat perbedaan pemahaman baik terhadap penerapan nilai - nilai etika bisnis perusahaan maupun budaya perusahaan. Oleh karena itu, walaupun masih dianggap wajar oleh perusahaan, tetapi hal ini harus menjadi lampu kuning bagi perusahaan untuk terus memantau perbedaan pemahaman baik terhadap penerapan nilai - nilai etika bisnis perusahaan maupun budaya perusahaan. Pihak perusahaan bisa lebih mengkaji cara training awal yang telah diterapkan karena salah satu cara penyampaian nilai - nilai etika bisnis adalah melalui JTP (Job Training Program). Cara yang dapat dilakukan perusahaan yaitu (1) mempersiapkan trainees untuk lebih memahami mengenai filosofi etika bisnis dan usahakan agar trainees mencari sendiri pemahaman etika tersebut, (2) ciptakan pemahaman pentingnya etika individual sehingga diharapkan trainees juga dapat lebih memahami pentingnya penerapan etika bisnis, (3) ambil beberapa contoh penerapan etika bisnis yang realistik agar lebih mudah dipahami oleh para trainees, dan (4) latihan secara terus menerus. Selain itu, untuk meminimalisasikan perbedaan pemahaman antara manajer dan staff AI dapat dilakukan beberapa cara memelihara keharmonisan dan keseimbangannya dalam hubungan kerja dan hubungan pribadi, membina semangat kebersamaan pada seluruh anggota organisasi dengan pertemuan - pertemuan informal di dalam internal organisasi, memberikan kesempatan dan tanggapan positif terhadap ide, usul, atau saran yang diajukan maupun permasalahan yang dihadapi pegawai yang terkait dengan pekerjaan.
Deskripsi Alternatif :

ABSTRACT

Business Ethics Analize at PT Astra International, Tbk

Ita Lestari

Importance of ethics in the business world is superlative and global. New trends and issues arise on a daily basis which may create an important burden to organizations. As multinational companies expand globally and enter foreign market, ethical conduct of the officers and employees assume added importance since the very cultural diversity associated with such expansion may undermine the much shared cultural and ethical values observable in the mores homogenous organizations.Good Cooperate Governance is a must for now. Astra International is one of the multinational companies which has done business ethics for almost 21 years and it makes companies survive until now and become one of leader companies in Indonesia. Because of that reason, author interested to analyze Astra Internasional business ethics.
This research is a case study employing quantitative and qualitative methods. Data collected through interview, observation and document study. Data is analyzed using descriptive statistics, gap analysis, indeks scoring, Thurstone analysis, Kruskal Wallis analysis, and Mann whitney analysis The results of this research show that there is a gap between manager and staff perceptions in Astra International (AI) in both condition, business ethics and organization culture, although companies still make a compromise with that situation. For etiquette at work, most people surveyed fell that most people learned the etiquette rules of work from observing others at work and they feel that workplace etiquette rules and ethical code of conduct should be broken in situation of conflict or confrontations.

Keywords:business ethics, Astra International, Good Cooperate Governance (GCG).

[Oil&Gas] (SCM) Etika Bisnis di lingkungan SCM

http://tech.groups.yahoo.com/group/Migas_Indonesia/message/10837

Strategi Antikorupsi dan Departemen Integritas Kelembagaan Bank Dunia:
Mampukah Memerangi Korupsi?

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak proyek yang didanai Bank Dunia
telah dikorupsi dan bahwa Bank Dunia mendukung pemerintah-pemerintah yang
tidak berupaya memerangi korupsi. Walau demikian, baru pada tahun 1996 Bank
Dunia melembagakan strategi dan mekanisme untuk mengatasi korupsi.
Departemen Integritas Kelembagaan (Institutional Integrity Department) -
mekanisme antikorupsi Bank Dunia - baru-baru ini menyelidiki sejumlah proyek
yang didanai Bank Dunia di Indonesia. Masih harus dilihat seberapa efektif
mekanisme ini dalam memerangi korupsi.
Strategi Antikorupsi Bank Dunia dan Departemen Integritas Kelembagaan
Pada November 2000 Bank Dunia menggabungkan Unit Penyidikan Korupsi dan
Penyelewengan (Corruption and Fraud Investigations Unit atau CFIU) dan
Kantor Etika Bisnis (Office of Bussiness Ethics) menjadi satu lembaga
bernama Departmen Integritas Kelembagaan (Institutional Integrity
Department). Departemen tersebut dipimpin oleh Maarten de Jong yang
berkebangsaan Belanda. Sebagai Direktur, Maarten de Jong bertanggung jawab
memberikan saran kepada manajemen senior dan mengembangkan strategi-strategi
penyidikan serta prosedur-prosedur yang mendukung prakarsa kebijakan dan
program Bank Dunia yang akan memperkuat upaya anti-penyelewengan dan
korupsi. Direktur bertugas meningkatkan kesadaran staf Bank Dunia akan
perlunya menjunjung tinggi norma-norma etika. Untuk menjaga kemandirian,
CFIU melapor langsung kepada Presiden Bank Dunia.
Untuk memerangi korupsi yang dipandang sebagai kendala terbesar pembangunan
ekonomi dan sosial, Bank Dunia mengembangkan empat bagian strategi dengan
prioritas:
· Mencegah penyelewengan dan korupsi dalam proyek-proyek yang didanai
Bank Dunia.;
· Membantu negara-negara yang meminta dukungan Bank Dunia dalam upaya
mereka mengurangi korupsi.
· Memperhatikan korupsi secara lebih terbuka dalam strategi-strategi
bantuan negara, pertimbangan-pertimbangan pemberian pinjaman negara, dialog
kebijakan, analisis, pilihan dan rancangan proyek.
· Bersikap vokal dan menawarkan bantuan bagi upaya-upaya internasional
dalam mengurangi korupsi.
CFIU melakukan penyidikan terhadap semua dugaan penyelewengan dan korupsi
dalam Kelompok Bank Dunia atau yang berhubungan dengan kontrak-kontrak yang
didanai Kelompok Bank Dunia, termasuk yang didanai melalui Fasilitas
Lingkungan Global (GEF), seperti:
· Penyimpangan kontrak dan pelanggaran pedoman pengadaan Bank Dunia
· Kecurangan tender
· Kolusi oleh pelaku tender
· Penyelewengan tender
· Penyelewengan dalam kontrak
· Penyelewengan dalam pemeriksaan audit
· Penggantian produk
· Cacat dalam pemberian harga atau barang
· Ketidakwajaran dalam penerapan ongkos biaya/kerja
· Penyuapan dan penerimaan komisi
· Penyalahgunaan dana atau jabatan Bank Dunia
· Perjalanan fiktif
· Pencurian dan penggelapan
· Ganjaran
· Penghamburan dana Bank Dunia

Bank Dunia dan Korupsi di Indonesia
Sejumlah laporan internal Bank Dunia mengungkapkan parahnya masalah korupsi
dalam proyek-proyek yang didanai Bank Dunia di Indonesia. Sebuah laporan
internal Bank Dunia tahun 1998 memperkirakan sekitar 30% dana untuk anggaran
pembangunan perkotaan Pemerintah Indonesia, yang didukung oleh pinjaman Bank
Dunia, menguap melalui berbagai cara. Namun, keprihatinan Bank Dunia
terhadap korupsi di Indonesia baru tertuang secara resmi dalam Strategi
Bantuan Negara (CAS) 2001-2003 untuk Indonesia, yang mencatat lemahnya
kepercayaan publik dan merajalelanya budaya korupsi di Indonesia.
CAS memaparkan empat bagian strategi guna menjamin dana Bank Dunia digunakan
sebagaimana mestinya: (i) mencegah korupsi melalui rancangan yang lebih baik
untuk proyek-proyek baru (Smart Project Designs); (ii) memperkuat pengawasan
proyek-proyek berjalan; (iii) penegakan melalui penyidikan kasus-kasus
penyelewengan dan korupsi; dan (iv) mendukung reformasi pemerintah dalam
manajemen pengadaan dan keuangan.
Menurut Bank Dunia, melalui pendekatan Smart Project Designs, proyek-proyek
dirancang atau dirancang ulang agar menjadi murah dan hemat biaya. Misalnya,
Proyek Investasi Perkotaan Bali - dirancang ulang dalam tahun fiskal 2000 -
mengadopsi kebijakan untuk mengurangi kesempatan kolusi dan meningkatkan
persaingan terbuka, yang akan memperkuat kontraktor-kontraktor cakap dan
jujur. Bank Dunia mengakui sejak kebijakan ini diterapkan pada tahun 2002
harga-harga tender menjadi jauh lebih rendah.
Upaya-upaya lain mencakup:
· Memperketat kajian pengadaan barang dan jasa oleh badan-badan
pelaksana;
· Memantau dipenuhinya persyaratan akuntansi dan audit.
· Mengamankan sumber-sumber daya Bank Dunia yang dialokasikan untuk
memantau proyek-proyek di Indonesia dan memperkuat kapasitas kantor Bank
Dunia di Jakarta untuk meningkatkan dipenuhinya persyaratan pengadaan,
akuntansi dan audit.
· Mendukung keterlibatan pihak penerima pinjaman dalam rancangan dan
penerapan proyek-proyek dengan membangun hubungan dengan masyarakat madani
dan masyarakat setempat untuk membantu mencegah penyalahgunaan dana-dana
pembangunan.
Bersama-sama dengan Bank Pembangunan Asia dan donor-donor lain, Bank Dunia
mempersiapkan Laporan Penilaian Pengadaan Negara (Country Procurement
Assessment Report) dan Penilaian Akuntabilitas Keuangan Negara (Country
Financial Accountability Assessment). Kedua laporan ini disusun untuk
mendukung upaya para donor dalam semakin memperkuat pengawasan proses
pengadaan oleh peminjam dan mengkaji semua dugaan penyimpangan yang ada.
Menurut Bank Dunia, semua pengaduan dibahas, dan bila perlu, diselidiki
menurut peraturan yang berlaku. Database Bank Dunia tentang pengadaan
(procurement) telah disusun. Sampai dengan Juni 2002, Kantor Bank Dunia di
Jakarta telah menerima 231 pengaduan yang berkaitan dengan korupsi,
kebanyakan tentang dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan. Tujuh kasus
tentang dugaan khusus berkaitan dengan penyuapan dan penyalahgunaan dana.
Seratus sembilan puluh kasus telah dikaji oleh staf Bank Dunia dan
Pemerintah Indonesia dan telah ditutup.
Bank Dunia mengatakan tindakan-tindakan yang diambil dalam menindaklanjuti
pengaduan-pengaduan tersebut meliputi, pelarangan perusahaan-perusahaan
untuk berpartisipasi dalam pengadaan dimasa datang, membayar kembali
pengeluaran pemerintah yang dianggap tidak patut didanai oleh Bank Dunia,
tender ulang pengadaan, memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan
pengadu yang terpilih bila ternyata pengaduan mereka benar, mensyaratkan
pemasok mematuhi ketentuan-ketentuan dalam tender perdana, dan pemberian
sanksi oleh pemerintah untuk penayangan iklan yang menyesatkan.
Melalui Departemen Integritas Kelembagaan, Bank Dunia melaksanakan audit
kepercayaan masyarakat (fiduciary) pada Proyek Pembangunan Perkotaan
Sulawesi II (SUDP II) awal tahun ini.

CFIU Beraksi: Kasus Proyek Pembangunan Perkotaan Sulawesi IIProyek
Pembangunan Perkotaan Sulawesi (SUDP) II bertujuan - melalui pendekatan
ter-program - mengurangi "kemacetan" investasi infrastruktur perkotaan yang
tertunda-tunda dengan memberikan bantuan kepada empat puluh pemerintah
daerah dan perusahaan air di Sulawesi. Pinjaman disetujui pada November
1996. Keseluruhan proyek bernilai 341,2 juta USD. Dari jumlah tersebut, 155
juta USD pada awalnya direncanakan sebagai pinjaman dari Bank Dunia, namun
pinjaman diciutkan menjadi 88 juta USD menyusul terjadinya krisis keuangan
Asia. Hingga saat ini, Bank Dunia telah mengucurkan lebih kurang 76 juta
USD. Kajian atas kepercayaan (fiduciary) SUDP II melibatkan tinjauan luas
atas pengadaan, penerapan, dan praktik-praktik pengelolaan keuangan disertai
dengan kajian intensif atas contoh kontrak di empat kota. Di samping
parahnya masalah dokumentasi yang hilang, kajian menemukan bukti kolusi
diantara peserta tender dan kepemilikan perusahaan "papan nama". Kajian juga
menemukan pengawasan proyek yang tidak memadai oleh badan pelaksana dan
konsultan, yang menghasilkan kontrak yang tidak sesuai peraturan,
ketidakberhasilan menuntaskan pekerjaan, dan perubahan dalam kontrak tanpa
persetujuan semestinya. Masalah-masalah serupa ditemukan dalam manajemen
keuangan. Menurut Country Director Bank Dunia, pada Juni 2002 Pemerintah
Indonesia dan Bank Dunia menyepakati langkah-langkah berikut: · Pengeluaran
SUDP-II yang bersumber dari pinjaman Bank Dunia tidak akan dikeluarkan
menunggu hingga ada keputusan akhir tentang masa depan proyek; ·
Departemen Integritas Kelembagaan akan menuntaskan tugasnya dengan melakukan
langkah-langkah tindak lanjut atas hasil penyelidikan lapangan, dan
langkah-langkah pemulihan yang tepat akan diambil sejalan dengan kesepakatan
pinjaman. Bank Dunia juga akan mengumumkan kecurangan pengadaan sebagaimana
mestinya; · Dengan dukungan Bank Dunia, Pemerintah Indonesia akan
menyiapkan rencana aksi guna menyikapi isu-isu yang muncul dalam kajian
kepercayaan (fiduciary) sehingga masalah-masalah semacam itu tidak akan
muncul lagi pada proyek perkotaan baru yang didanai Bank Dunia.

Niat Tulus Memerangi Korupsi?
Upaya Bank Dunia menyelenggarakan kajian kepercayaan masyarakat (fiduciary)
pada SUDP-II disambut dengan sikap skeptis oleh para pengamat dan bahkan
staf Bank Dunia sendiri. John M. Miller, Ketua Tim (April 1998 - April 2002)
Kantor Koordinasi Proyek SUDP-II, menggolongkan Bank Dunia sebagai mitra
sistem yang korup di Indonesia. Lebih jauh ia mengatakan Bank Dunia adalah
selalu mengandalkan prinsip "sodorkan uang", kemudian proyek-proyek dinilai
menurut ke-efektif-annya dalam mengalirkan uang tersebut. - tanpa peduli
bahwa kemungkinan SUDP-II dirancang dan dipersiapkan secara serampangan.
Bank Dunia perlu mendefinisikan kembali keberhasilan proyek - tidak lagi
sekadar "mengucurkan uang" tapi menciptakan standar untuk mengukur seberapa
jauh sasaran proyek tercapai, keberlanjutan proyek, partisipasi dan sikap
kepemilikan badan-badan pelaksana serta masyarakat serta publik, dan isu-isu
transparansi serta kepengurusan (governance). Konsekuensinya, standar ukuran
penilaian kinerja petugas/pejabat pelaksana proyek Bank Dunia juga harus
diubah sesuai dengan definisi baru keberhasilan proyek. Tanpa perubahan ini,
pelaksana proyek Bank Dunia tidak memiliki dorongan untuk berubah.
Departemen Integritas Kelembagaan juga harus menjamin penindak-lanjutan
pengaduan-pengaduan. Harus dipastikan ada transparansi dalam menangani
dugaan korupsi dan sanksi yang akan dijatuhkan terhadap individu-individu
dan perusahaan-perusahaan yang terlibat korupsi.
Akhirnya, komitmen Bank Dunia memerangi korupsi akan dinilai berdasarkan
keberhasilan upaya pencegahan korupsi dan efektivitas penanganannya ketika
terjadi korupsi.
Sumber:
Situs web Bank Dunia http://www.worldbank.org
Situs web Perwakilan Bank Dunia (RSI) di Indonesia
http://www.worldbank.or.id
"World Bank Integrity in Combating Corruption" oleh John M. Miller. Jakarta
Post, 7 Oktober 2002.
"Indonesia. Fiduciary Review of the Second Sulawesi Urban Development
Project. Overview Report" Juni 2002. The World Bank

Tentang Etika Bisnis

Author: Ade S | Filed Under: Entrepreneurship, Kewirausahaan |
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5602439787405552518

Apa itu “etika bisnis”?
• Apa saja enam tingkatan dalam membangun moral?
• Perlukah standar moral diaplikasikan dalam bisnis?
• Kapan seseorang secara moral bertanggung jawab untuk perbuatan salahnya?

Tidak ada cara yang paling baik untuk memulai penelaahan hubungan antara etika dan bisnis selain dengan mengamati, bagaimanakah perusahaan riil telah benar-benar berusaha untuk menerapkan etika ke dalam bisnis. Perusahaan Merck and Company dalam menangani masalah “river blindness” sebagai contohnya ;
River blindness adalah penyakit sangat tak tertahankan yang menjangkau 18 juta penduduk miskin di desa-desa terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin.
Penyakit dengan penyebab cacing parasit ini berpindah dari tubuh melalui gigitan lalat hitam. Cacing ini hidup dibawah kulit manusia, dan bereproduksi dengan melepaskan jutaan keturunannya yang disebut microfilaria yang menyebar ke seluruh tubuh dengan bergerak-gerak di bawah kulit, meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh dan gatal yang amat sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang memutuskan bunuh diri.

Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan peneliti pada Merck and Company, perusahaan obat Amerika, menemukan bukti bahwa salah satu obat-obatan hewan yang terjual laris dari perusahaan itu, Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river blindness. Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada Direktur Merck, Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka mengembangkan obat tersebut untuk manusia.

Para manajer Merck sadar bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut, penderita river blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan tes klinis berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih dari 100 juta dollar.
Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat mendistribusikannya, karena penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau obat itu mengakibatkan efek samping, publisitas buruk akan berdampak pada penjualan obat Merck. Kalau obat murah tersedia, obat dapat diselundupkan ke pasar gelap dan dijual untuk hewan,sehingga menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang selama ini menguntungkan.
Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per tahun, namun pendapatan bersihnya menurun akibat kenaikan biaya produksi, dan masalah lainnya, termasuk kongres USA yang siap mengesahkan Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya akan berdampak pada pendapatan perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan membiayai proyek mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti untuk river blindness. Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan menyakitkan. Setelah banyak dilakukan diskusi, sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan manusiawi atas obat untuk river blindness terlalu signifikan untuk diabaikan. Keuntungan manusiawi inilah, secara moral perusahaan wajib mengenyampingkanbiaya dan imbal ekonomis yang kecil. Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan Invernectin versi manusia.
Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan banyak percobaan klinis, Merck berhasil membuat pil obat baru yang dimakan sekali setahun akan melenyapkan seluruh jejak parasit penyebab river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang mau membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS dan pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau membeli untuk melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini, tapi tak satupun menanggapi permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan memberikan secara gratis obat tersebut, namun tidak ada saluran distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang memerlukan. Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia ketiga, dan memastikan obat tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk hewan. Tahun 1996, komite mendistribusikan obat untuk jutaan orang, yang secara efektif mengubah hidup penderita dari penderitaan yang amat sangat, dan potensi kebutaan akibat penyakit tersebut. Merck menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan mendistribusikan obat yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan etisnya adalah mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan mengingat bahwa Merck membantu mereka dan akan mengingat di masa yang akan dating. Selama bertahun-tahun perusahaan belajar bahwa tindakan semacam itu memiliki keuntungan strategis jangka panjang yang penting.

Para ahli sering berkelakar, bahwa etika bisnis merupakan sebuah kontradiksi istilah karena ada pertentangan antara etika dan minat pribadi yang berorientasi pada pencarian keuntungan. Ketika ada konflik antara etika dan keuntungan, bisnis lebih memilih keuntungan daripada etika.
Buku Business Ethics mengambil pandangan bahwa tindakan etis merupakan strategi bisnis jangka panjang terbaik bagi perusahaan – sebuah pandangan yang semakin diterima dalam beberapa tahun belakangan ini.

1.1.ETIKA BISNIS DAN ISU TERKAIT
Menurut kamus, istilah etika memiliki beragam makna berbeda. Salah satu maknanya adalah “prinsip tingkah laku yang mengatur individu dan kelompok”. Makna kedua menurut kamus – lebih penting – etika adalah “kajian moralitas”. Tapi meskipun etika berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri, sedangkan moralitas merupakan subjek.

A. Moralitas
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat.
Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Norma moral seperti “selalu katakan kebenaran”, “membunuh orang tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau ciri-ciri objek yang bernilai, semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu buruk”. Standar moral pertama kali terserap ketika masa kanak-kanak dari keluarga, teman, pengaruh kemasyarakatan seperti gereja, sekolah, televisi, majalah, music dan perkumpulan.

Hakekat standar moral :

1. Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
2. Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu.
3. Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya) kepentingan diri.
4. Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
5. Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu.
Standar moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.


B. Etika
Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal atau tidak masuk akal – standar, yaitu apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau jelek.
Etika merupakan penelaahan standar moral, proses pemeriksaan standar moral orang atau masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral adalah mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk dianut.
Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah menentukan standar yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar benar dan salah, dan moral yang baik dan jahat.

C. Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah.
Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.
Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.

D. Penerapan Etika pada Organisasi Perusahaan
Dapatkan pengertian moral seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan kewajiban diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada orang (individu) sebagai perilaku moral yang nyata?
Ada dua pandangan yang muncul atas masalah ini :

* Ekstrem pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab secara moral untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka adalah bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama yang dilakukan manusia.
* Ekstrem kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal berpikir bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia gagal mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral. Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus secara membabi buta mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara moral.

Karena itu, tindakan perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia, indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan tanggung jawab moral : individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir dari pilihan dan perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan bertindak secara bermoral.

E. Globalisasi, Perusahaan Multinasional dan Etika Bisnis
Globalisasi adalah proses yang meliputi seluruh dunia dan menyebabkan system ekonomi serta sosial negara-negara menjadi terhubung bersama, termasuk didalamnya barangbarang, jasa, modal, pengetahuan, dan peninggalan budaya yang diperdagangkan dan saling berpindah dari satu negara ke negara lain. Proses ini mempunyai beberapa komponen, termasuk didalamnya penurunan rintangan perdagangan dan munculnya pasar terbuka dunia, kreasi komunikasi global dan system transportasi seperti internet dan pelayaran global, perkembangan organisasi perdagangan dunia (WTO), bank dunia, IMF, dan lain sebagainya.
Perusahaan multinasional adalah inti dari proses globalisasi dan bertanggung jawab dalam transaksi internasional yang terjadi dewasa ini. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang bergerak di bidang yang menghasilkan pemasaran, jasa atau operasi administrasi di beberapa negara. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang melakukan kegiatan produksi, pemasaran, jasa dan beroperasi di banyak negara yang berbeda.
Karena perusahaan multinasional ini beroperasi di banyak negara dengan ragam budaya dan standar yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa perusahaan melanggar norma dan standar yang seharusnya tidak mereka lakukan.

F. Etika Bisnis dan Perbedaan Budaya
Relativisme etis adalah teori bahwa, karena masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan etis yang berbeda. Apakah tindakan secara moral benar atau salah, tergantung kepada pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain, relativisme moral adalah pandangan bahwa tidak ada standar etis yang secara absolute benar dan yang diterapkan atau harus diterapkan terhadap perusahaan atau orang dari semua masyarakat.
Dalam penalaran moral seseorang, dia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam masyarakat manapun dimana dia berada.
Pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang berpendapat, bahwa ada standar moral tertentu yang harus diterima oleh anggota masyarakat manapun jika masyarakat itu akan terus berlangsung dan jika anggotanya ingin berinteraksi secara efektif.
Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak secara sederhana mengabaikan keyakinan moral kebudayaan lain ketika mereka tidak sesuai dengan standar moral kita.

G. Teknologi dan Etika Bisnis
Teknologi yang berkembang di akhir dekade abad ke-20 mentransformasi masyarakat dan bisnis, dan menciptakan potensi problem etis baru. Yang paling mencolok adalah revolusi dalam bioteknologi dan teknologi informasi. Teknologi menyebabkan beberapa perubahan radikal, seperti globalisasi yang berkembang pesat dan hilangnya jarak, kemampuan menemukan bentuk-bentuk kehidupan baru yang keuntungan dan resikonya tidak terprediksi. Dengan perubahan cepat ini, organisasi bisnis berhadapan dengan setumpuk persoalan etis baru yang menarik.

1.2 PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN MORAL

A. Perkembangan Moral
Riset psikologi menunjukkan bahwa, perkembangan moral seseorang dapat berubah ketika dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa yang benar dan apa yang salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja, standar moral konvensional secara bertahap diinternalisasikan. Standar moral pada tahap ini didasarkan pada pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya sebagian manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan merefleksikan secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman, budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang lebih memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai menyeimbangkan perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri sendiri.
Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun, menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2 tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :

1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas
Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu.

2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya.
Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan
Benar dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.

3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Hukum dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi orang yang rasional untuk menjalankannya.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial
Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.

Teori Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua orang mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal sepanjang hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional, benar atau salah terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris untuk menghindari hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang berkuasa. Bagi mereka yang mencapai tahap konvensional, tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah selalu didefinisikan dalam pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum Negara atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan salah secara moral didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral yang mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.

B. Penalaran Moral
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu melibatkan dua komponen mendasar :

1. Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar moral yang masuk akal.
2. Bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau prilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang, menilai, atau menyalahkan.
3. Menganalisis Penalaran Moral


Ada beberapa criteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan penalaran moral, yaitu :

* Penalaran moral harus logis.
* Bukti factual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan dan lengkap.
* Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.


1.3 ARGUMEN YANG MENDUKUNG DAN YANG MENENTANG ETIKA BISNIS
Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke dalam bisnis.
Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis :
Orang yang terlibat dalam bisnis, kata mereka hendaknya berfokus pada pencarian keuntungan finansial bisnis mereka dan tidak membuang-buang energi mereka atau sumber daya perusahaan untuk melakukan ”pekerjaan baik”. Tiga argumen diajukan untuk mendukung perusahaan ini :

Pertama, beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas kompetitif sempurna, pencarian keuntungan dengan sendirinya menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang paling menguntungkan secara sosial. Agar beruntung, masing-masing perusahaan harus memproduksi hanya apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan harus melakukannya dengan cara yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat akan sangat beruntung jika manajer tidak memaksakan nilai-nilai pada bisnis, namun mengabdikan dirinya pada pencarian keuntungan yang berfokus.
Argumen tersebut menyembunyikan sejumlah asumsi yaitu : Pertama, sebagian besar industri tidak ”kompetitif secara sempurna”, dan sejauh sejauh perusahaan tidak harus berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan keuntungan sekalipun produksi tidak efisien. Kedua, argumen itu mengasumsikan bahwa langkah manapun yang diambil untuk meningkatkan keuntungan, perlu menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan yang sebenarnya merugikan perusahaan : membiarkan polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat produksi, penyuapan. Menghindari pajak, dsb. Ketiga, argumen itu mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apapun yang diinginkan publik pembeli, perusahaan memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan keinginan sebagian besar anggota masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar. Keempat, argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif.

Kedua, Kadang diajukan untuk menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus mengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang oleh Ale C. Michales disebut ”argumen dari agen yang loyal”. Argumen tersebut secara sederhana adalah sbb :
Sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keakhlian agen).
Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya.
Argumen agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam menentukan apakah perintah klien kepada agen masuk akal atau tidak... etika bisnis atau profesional harus mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis”. Dengan demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi oleh batasan-batasan moralitas.

Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum :
Etika bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum.
Terkadang kita salah memandang hukum dan etika terlihat identik. Benar bahwa hokum tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga dituntut standar moral kita. Namun demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa. Beberapa hukum tidak punya kaitan dengan moralitas, bahkan hukum melanggar standar moral sehingga bertentangan dengan moralitas, seperti hukum perbudakan yang memperbolehkan kita memperlakukan budak sebagai properti. Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti hukum.
Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar Moral kita kadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum sebaliknya, hukum dikritik dan dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar standar moral.
Kasus etika dalam bisnis
Etika seharusnya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika mengatur semua aktivitas manusia yang disengaja, dan karena bisnis merupakan aktitivitas manusia yang disengaja, etika hendaknya juga berperan dalam bisnis. Argumen lain berpandangan bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali orang yang terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan perilaku etis.
Dalam masyarakat tanpa etika, seperti ditulis oleh filsuf Hobbes, ketidakpercayaan dan kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan ”perang antar manusia terhadap manusia lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi ”kotor, brutal, dan dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin dapat melakukan aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Katena bisnis tidak dapat bertahan hidup tanpa etika, maka kepentingan bisnis yang paling utama adalah mempromosikan perilaku etika kepada anggotanya dan juga masyarakat luas.
Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Contoh Merck dikenal karena budaya etisnya yang sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan perusahaan yang secara spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang masa.
Apakah ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan dapripada perusahaan lainnya ?
Beberapa studi menunjukan hubungan yang positif antara perilaku yang bertanggung jawab secara sosial dengan profitabilitas, beberapa tidak menemukan korelasi bahwa etika bisnis merupakan beban terhadap keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial bertransaksi di pasar saham, memperoleh pengembalian yang lebih tinggi daripada perusahaan lainnya. Semua studi menunjukan bahwa secara keseluruhan etika tidak memperkecil keuntungan, dan tampak justru berkontribusi pada keuntungan.
Dalam jangka panjang, untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnis dari pada tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil, namun perilaku tidak etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi kekalahan karena meruntuhkan hubungan koperatif yang berjangka lama dengan pelanggan, karyawan dan anggota masyarakat dimana kesuksesan disnis sangat bergantung.
Akhirnya kita harus mengetahui ada banyak bukti bahwa sebagian besar orang akan menilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis. Pelanggan akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukan absentisme lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan percaya bahwa organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan apapun yang dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Ringkasnya, etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif.
Dengan demikian, ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.

1.4 TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN MORAL
Kapankah secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena melakukan kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan efek-efek merugikan yang telah diketahui ;
a. Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas
b. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya.

Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;

1. Ketidaktahuan
2. Ketidakmampuan

Keduanya disebut kondisi yang memaafkan karena sepenuhnya memaafkan orang dari tanggung jawab terhadap sesuatu. Jika seseorang tidak mengetahui, atau tidak dapat menghindari apa yang dia lakukan, kemudian orang itu tidak berbuat secara sadar, ia bebas dan tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya. Namun, ketidaktahuan dan ketidakmampuan tidak selalu memaafkan seseorang, salah satu pengecualiannya adalah ketika seseorang mungkin secara sengaja, membiarkan dirinya tidak mau mengetahui persoalan tertentu.
Ketidakmampuan bisa jadi merupakan akibat lingkungan internal dan eksternal yang menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan sesuatu atau tidak dapat menahan melakukan sesuatu. Seseorang mungkin kekurangan kekuasaan, keahlian, kesempatan atau sumber daya yang mencukupi untuk bertindak. Seseorang mungkin secara fisik terhalang atau tidak dapat bertindak, atau pikiran orang secara psikologis cacat sehingga mencegahnya mengendalikan tindakannya. Ketidakmampuan mengurangi tanggung jawab karena seseorang tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan (atau melarang melakukan) sesuatu yang tidak dapat dia kendalikan. Sejauh lingkungan menyebabkan seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugian tertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu.
Sebagai tambahan atas dua kondisi yang memaklumkan itu (ketidaktahuan dan ketidakmampuan), yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena kesalahan, ada juga beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan tanggung jawab moral seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang memperingan mencakup :

* Lingkungan yang mengakibatkan orang tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin tentang apa yang sedang dia lakukan ( hal tersebut mempengaruhi pengetahuan seseorang)
* Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan tidak mungkin untuk menghindari melakukannya (hal ini mempengaruhi kebebasan seseorang)
* Lingkungan yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan keterlibatan seseorang dalam sebuah tindakan (ini mempengaruhi tingkatan sampai dimana seseorang benar-benar menyebabkan kerugian)

Hal tersebut dapat memperingan tanggung jawab seseorang karena kelakuan yang keliru yang tergantung pada faktor keempat, yaitu keseriusan kesalahan.
Kesimpulan mendasar tentang tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian yang memperingan tanggung jawab moral seseorang yaitu :

1. Secara moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah yang dia lakukan (atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek kerugian yang disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika itu dilakukan dengan bebas dan sadar.
2. Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuan
3. Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh :

* Ketidak pastian
* Kesulitan

Bobot keterlibatan yang kecil (meskipun kegagalan tidak memperingan jika seseorang mempunyai tugas khusus untuk mencegah kesalahan), namun cakupan sejauh mana hal-hal tersebut memperingan tanggung jawab moral seseorang kepada (dengan) keseriusan kesalahan atau kerugian. Semakin besar keseriusannya, semakin kecil ketiga factor pertama tadi dapat meringankan.
Para kritikus berdebat, apakah semua faktor yang meringankan itu benar-benar mempengaruhi tanggung jawab seseorang? Beberapa berpendapat bahwa, kejahatan tidak pernah diterima, tidak peduli tekanan apakah yang terjadi pada seseorang. Kritikus lain berpendapat, membiarkan secara pasif suatu kesalahan terjadi, tidak berbeda dengan secara aktif menyebabkan suatu kesalahan terjadi.

A. Tanggung Jawab Perusahaan
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Kaum tradisional membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan kepada kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris, juru tulis, atau tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.

B. Tanggung Jawab Bawahan
Dalam perusahaan, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka.
Perusahaan biasanya memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level yang lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara moral ketika seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan yang mereka ketahui salah.
Orang kadang berpendapat bahwa, ketika seorang bawahan bertindak sesuai dengan perintah atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan itu.
Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru, bahkan jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut keliru, karena bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak secara bebas dan sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang salah merupakan pilihan secara bebas dan sadar mengikuti perintah. Ada batas-batas kewajiban karyawan untuk mentaati atasannya. Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah melakukan apapun yang tidak bermoral.
Dengan demikian, ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan untuk melakukan sebuah tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral bertanggung jawab atas tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga bertanggung jawab secara moral, karena fakta atasan menggunakan bawahan untuk melaksanakan tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan melakukannya.

HAL – HAL YANG MENARIK

1. Dasar Etika adalah MoralApa yang dimaksud dengan etika? Menurut kamus ada banyak arti dari etika diantaranya adalah :
* Prinsip – prinsip yang digunakan untuk mengatur prilaku individu atau kelompok
* Pelajaran tentang moral
Definisi Moralitas adalah :
“Aturan-aturan yang dimiliki perorangan atau kelompok tentang apa-apa yang benar dan apa-apa yang salah, atau apa-apa yang baik dan yang jahat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan standar moral adalah :
“Norma-norma yang kita miliki tentang jenis-jenis tindakan yang kita percaya secara moral benar atau salah.”

2. Moral Lebih ke Arah Individu
Organisasi perusahaan akan eksis bila :
“Ada individu – individu manusia dengan hubungan dan lingkungan tertentu.”
Karena tindakan perusahaan dilakukan oleh pilihan dan tindakan individu-individu di dalamnya. Maka individu-individu tadi yang harus dilihat sebagai penghalang dan pelaksana utama dari tugas moral, tanggung jawab moral perusahaan.
Individu-individu manusia tadi bertanggung jawab pada apa yang dilakukan oleh perusahaan, karena tindakan perusahaan berlangsung karena pilihan-pilihan mereka dan prilaku individu-individu tadi. Sehingga perusahaan mempunyai tugas moral untuk melakukan sesuatu bila anggota perusahaan tersebut mempunyai tanggung jawab moral untuk melakukan sesuatu.

3. Pencapai Tetinggi dari Etika adalah Berorientasi pada Prinsip Etika Universal
Tingkat final, tindakan yang benar dilakukan berdasarkan prinsip moral karena logis, universality dan konsistensi.
Universality artinya suara hati, di dalam istilah ESQ disebut anggukan universal yang mengacu kepada God Spot.

4. Kasus WorldCom dan Enron
4.1 Kasus WorldCom
Di dalam laporan keuangan WorldCom’s, Scott Sulivan memindahkan $ 400 juta dari reserved account ke “income”. Dia juga selama bertahun-tahun melaporkan trilyunan dolar biaya operasi sebagai “capital expenditure”.
Dia bisa melakukan ini dengan bantuan firm accounting dan auditor terkenal “Arthur Andersen”. Padahal Scott Sullivan, pernah mendapat penghargaan sebagai Best CFO oleh CFO Magazine tahun 1998.
4.2 Kasus Enron
Pada terbitan April 2001, majalah Fortune menjuluki Enron sebagai perusahaan paling innovative di Amerika “Most Innovative” dan menduduki peringkat 7 besar perusahaan di Amerika. Enam bulan kemudian (Desember 2001) Enron diumumkan bangkrut.
Kejadian ini dijuluki sebagai “Penipuan accounting terbesar di abad ke 20”. Dua belas ribu karyawan kehilangan pekerjaan. Pemegang saham-saham Enron kehilangan US$ 70 Trilyun dalam sekejap ketika nilai sahamnya turun menjadi nol.
Kejadian ini terjadi dengan memanfaatkan celah di bidang akuntansi. Andrew Fastow, Chief Financial officer bekerjasama dengan akuntan public Arthur Andersen, memanfaatkan celah di bidang akuntansi, yaitu dengan menggunakan “special purpose entity”, karena aturan accounting memperbolehkan perusahaan untuk tidak melaporkan keuangan special purpose entity bila ada pemilik saham independent dengan nilai minimum 3%.
Dengan special purpose entity tadi, kemudian meminjam uang ke bank dengan menggunakan jaminan saham Enron. Uang hasil pinjaman tadi digunakan untuk menghidupi bisnis Enron.
4.3 Bahasan Kasus
Dari kasus WorldCom’s dan Enron diatas, dapat diamati bahwa walaupun sudah ada aturan yang jelas mengatur system accounting, tetapi kalau manusia yang mengatur tadi tidak bermoral dan tidak beretika maka mereka akan memanfaatkan celah yang ada untuk kepentingan mereka.
4.4 Pandangan Velasquez tentang Etika Bisnis di Arab Saudi
Menurut Velasquez, Arab Saudi adalah tempat kelahiran Islam, yang menggunakan landasan Islam Suni sebagai hukum, kebijakan dan system sosialnya. Tetapi di Arab Saudi tidak dikenal “basic right” (keadilan dasar, seperti tidak ada demokrasi, tidak ada kebebasan berbicara, tidak ada kebebasan pers, tidak mengenal peradilan dengan system juri, tidak mengenal kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap wanita. Sehingga menurut Velasquez, di Arab Saudi tidak mengenal hak azazi manusia.

Menjadikan Etika Bisnis Sebagai Prioritas

http://www.ptfi.com/social/etika_berusaha.asp


Pimpinan Freeport-McMoRan Copper & Gold, James R. Moffett bertemu dengan anggota Forum MOU pada November, 2005 dalam rangka dialog tetap dengan para pemangku kepentingan utama di wilayah kegiatan operasi PT Freeport Indonesia.

Dewan kami beranggotakan sebelas orang, yang sebagian besar merupakan anggota independen. Di antara anggota Dewan pun terdapat seorang direktur kehormatan. Sesuai Pedoman Tata Kelola Korporasi kami, para direktur yang non-karyawan bertemu dalam sebuah sesi eksekutif yang berlangsung pada akhir setiap rapat Direksi yang telah dijadualkan. Setiap anggota Komite-komite Audit, Personalia Korporasi, serta Nominasi dan Tata Kelola Korporasi adalah independen dalam arti seperti yang tercantum di dalam Pedoman Tata Kelola Korporasi kami. Selain itu, Dewan menetapkan bahwa setiap anggota dari Komite Audit memenuhi syarat sebagai "pakar keuangan komite audit", sebagaimana definisi Securities and Exchange Commission. Setiap komite Dewan menjalankan fungsinya sesuai anggaran dasar tertulis yang dianut oleh Dewan. Pedoman Tata Kelola Korporasi dan seluruh anggaran dasar komite dapat dilihat pada situs internet kami di http://www.fcx.com/.

Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., PTFI dan Atlantic Copper, S.A. telah mengeluarkan Kebijakan Etika dan Perilaku Bisnis yang mewajibkan seluruh karyawan untuk mengikuti standar-standar etika yang ditetapkan oleh perusahaan dan sejalan dengan hukum yang berlaku, termasuk US Foreign Corrupt Practices Act - FCPA (UU AS tentang Praktik Korupsi di Luar Negeri) dan Akta Sarbanes-Oxley. Semua karyawan perusahaan terkait diwajibkan untuk membuat pernyataan setiap tahunnya tentang kepatuhan terhadap kebijakan tersebut. Selain itu, karyawan wajib memberi tahu pejabat kepatuhan perusahaan tentang setiap kegiatan, transaksi atau keterangan terkait lainnya mengenai dugaan adanya pelanggaran terhadap kebijakan tersebut. Setiap kejadian atau kekhawatiran tentang pelanggaran atau potensi pelanggaran akan diselidiki dan diselesaikan sebagaimana perlu.

Kami menyelenggarakan kursus pelatihan bagi para manajer, penyelia dan personil lainnya agar mereka dapat mengenal potensi permasalahan dan mengetahui bagaimana menanggapinya. Secara berkala, kami pun meninjau ulang kebijakan dan prosedur yang kami anut guna memastikan bahwa kepatuhan terhadap hukum yang berlaku dan harapan atas tanggung jawab korporasi senantiasa dipenuhi. Lihat Kebijakan Etika dan Perilaku Bisnis pada website kami (http://www.fcx.com/).

Tata Kelola Korporasi (Corporate Governance) Karyawan dan pejabat Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. menjalankan kegiatan usaha korporasi di bawah pengarahan Kantor Pemimpin Umum kami, yang terdiri dari Pemimpin Umum dan Pejabat Eksekutif Tertinggi, di bawah pengawasan Dewan Direksi. Para pemegang saham memilih anggota Dewan untuk mengawasi pengelolaan dan untuk memastikan agar kepentingan jangka panjang para pemegang saham senantiasa diperhatikan. Baik Dewan Direksi maupun tim manajemen menyadari bahwa dengan memperhatikan tata kelola korporasi secara tepat dan bertanggung jawab, kepentingan jangka panjang para pemegang saham dapat dikedepankan.

ETIKA BISNIS KELUARGA CENDANA (2 -- habis)

Oleh: Lion
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/06/13/0001.html

Keserakahan Keluarga Cendana untuk tidak pernah mau melepas "peluang"
untuk memiliki perusahaan-perusahaan raksasa, membuat guyonan yang
beredar di kalangan pengusaha bahwa kalau di negara lain seorang
pengusaha akan sangat senang dan bangga bisa membesarkan perusahaannya
dari nol. Maka di Indonesia begitu seorang pengusaha menjadi besar,
hatinya kemudian kebat-kebit, tidak bisa tidur nyenyak. Apa pasal?
Karena dengan begitu setiap saat dia bisa saja dihubungi oleh
(orang-orang) Keluarga Cendana dengan berbagai manuver untuk minta
bagian saham dalam perusahaan tersebut! Hebatnya bagian pemilikan itu
diminta begitu saja. Artinya sama sekali tidak ada setoran modal, atau
inbreng dalam bentuk apapun ke dalam perusahaan tadi. Dengan perkataan
lain: "Gratis!" Atau disebut juga dengan "saham kosong." Dari saham
kosong sekian persen mereka tinggal "memungut" keuntungan atasnya.
Sedikit pun keringat tidak menetes untuk perusahaan tadi.

Sudah banyak perusahaan atau grup perusahaan besar Indonesia mengalami
"nasib" seperti itu. Contoh paling aktual ya pada BCA itu. Padahal BCA
adalah bank swasta paling sehat di Indonesia. Manajemen BCA dikenal
sebagai salah satu manajemen paling solid di dunia perbankan
Indonesia. Mbak Tutut dan Sigit yang duduk di Dewan Komisaris tidak
termasuk di dalamnya. Mereka hanya setor nama. Sebaliknya merekalah
figur penyebab utama hancurnya kepercayaan nasabah terhadap banknya
itu, yang kemudian membawanya ke dalam ruang ICU BBPN.

Banyak sekali contoh-contoh kasus seperti yang saya maksudkan di atas,
yang jika harus dibeberkan semua di sini mungkin Anda akan bosan
membacanya. Anda mungkin bisa menilai/menafsirkan sendiri dengan
membaca kembali tulisan-tulisan George Aditjondro yang beberapakali
dimuat di media ini. Untuk membuat daftar perusahaan milik Keluarga
Cendana saja George memerlukan membagi tulisannya atas beberapa bagian.
Saking banyaknya.

Yang diminta pemilikannya "secara baik-baik" berani menolak harus
siap-siap menerima akibatnya. Contoh: William Soerjadjaja dengan Astra
Internasionalnya, yang saya sudah singgung.

--------------

Dengan cara-cara ikut memiliki perusahaan orang lain
secara demikian. Mungkin kita harus menilai kembali pandangan negatif
kita yang terpusat pada beberapa orang WNI Keturunan Cina yang
berkoneksi dengan Keluarga Cendana. Semacam Liem Sioe Liong, Eka Cipta
Wijaya, dan lain-lain. Bahwa mungkin saja pada dasarnya mereka itu
mempunyai jiwa bisnis yang murni yang ingin maju secara jujur dan
hasil kerja keras. Maksud ini kemudian tercemar dengan intervensi
Keluarga Cendana di dalamnya. Intervensi ini bukan sesuatu yang tidak
menguntungkan. Sebab dengan bekerja sama dengan Keluarga Cendana
keuntungan plus yang luar biasa. Yakni berupa penggunaan fasilitas
negara, kemudahan perizinan maupun perolehan dana pinjaman. Termasuk
melakukan praktek-praktek bisnis yang tidak etis, seperti monopoli,
kartel, oligopoli, persaingan tidak sehat dan sebagainya. Sudah bukan
rahasia lagi kalau ada suatu proyek yang mengajukan permohonan kredit
ke satu atau beberapa bank dengan hanya "menyebut" nama Keluarga
Cendana dijamin pasti lancar. Merasa "keenakan" dengan bisnis cara
demikian akhirnya mereka pun terlena untuk meneruskan cara demikian.

Ini bukan berarti saya membela konglomerat-konglomerat yang terlibat
kolusi dengan Keluarga Cendana. Yang salah tetap harus diperiksa
sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku yang harus diterapkan secara
obyektif, konsisten, dan konsekuen. Yang saya maksudkan adalah dalam
praktek-praktek kolusi, penggunaan fasilitas negara, surat sakti, dan
sebagainya tidak bisa kita salahkan semata-mata kepada
konglomerat-konglomerat itu. Dalam kasus seperti ini boleh dikatakan
andil lebih besar justru datang dari Keluarga Cendana. Walaupun harus
diakui tidak sedikit pula para konglomerat itu yang memang "dari
sononya" sudah bertabiat buruk (jahat). Tetapi sekali lagi, ingat!
Lihat dan nilailah seseorang itu dari perilakunya bukan latar belakang
rasnya (menggeneralisasikan).

Seorang pengusaha yang semula mungkin merintis usahanya secara
baik-baik dan kemudian "diganggu" oleh Keluarga Cendana. Bisanya tidak
bisa menahan godaan untuk kemudian menjalankan bisnis secara "potong
kompas" atau "cara gampang" ala Keluarga Cendana itu.

--------------

Dalam salah satu kasus yang paling populer adalah apa yang sering
disebut sebagai "Mega Korupsi" dalam kasus Golden Key Eddy Tansil.
Saya tidak percaya kalau sosok seperti Eddy Tansil yang tamat SD saja
tidak itu, bisa begitu berpengaruh dan ditakuti oleh para pejabat di
Bapindo sehingga mencairkan dana sebesar lebih dari Rp. 2 triliun
rupiah itu. Sekalipun ada Surat Sakti dari Sudomo, saya kira itu belum
cukup kuat untuk "menggertak" Bapindo.

Lalu nama siapa yang begitu ditakuti? Jawabnya adalah Hutomo Mandala
Putera, atau Tommy Soeharto! Dari faktanya saja kita lihat bahwa
kredit triliunan rupiah itu bukan baru terjadi dalam jangka waktu
satu-dua bulan sebelum Eddy Tansil ditangkap. Tetapi beberapa tahun
sebelumnya. Di mana dalam jangka waktu itu Tommy Soeharto masih
memiliki saham di Golden Key dan duduk sebagai salah satu anggota
badan pengurusnya. Apakah mungkin pinjaman kredit sedemikian besar
tidak diketahui Tommy sebagai salah satu komisaris?

Tommy tiba-tiba menyatakan mengundurkan dari Golden Key. Kemudian
sekitar satu bulan lebih kasus tersebut "diungkapkan." Saya curiga
bahwa Eddy Tansil yang terus terang tampangnya tidak meyakinkan
sebagai seorang konglomerat, hanya diperalat oleh Tommy Soeharto cs
untuk menguras Bapindo. Setelah semua didapat kasus tersebut
direkayasa terungkap dan Eddy menjadi bumper-nya. Berikut
korban-korban lainnya.

Setelah Eddy Tansil dan lain-lainnya itu ditangkap dan divonis. Muncul
Tommy dan Fadel Muhammad yang bermaksud "mengambil-alih" aset Golden
Key yang ditinggalkan Eddy Tansil itu. Padahal sebelumnya diberitakan
proyek-proyek Golden Key itu banyak yang tidak layak. Apakah ini
merupakan suatu hasil rekayasa pula?

Pokoknya banyak hal-hal yang janggal dalam kasus Eddy Tansil itu.
Termasuk berita tentang larinya Eddy Tansil dari penjara.

Sebelum Eddy melarikan diri. Sempat beredar berita bahwa akan digelar
sidang pengadilan baru untuk mengungkap kasus yang belum sempat
terungkap dalam persidangan-persidangan sebelumnya pada kasus
tersebut, di mana Eddy akan dijadikan saksi. Dalam persidangan itu
diharapkan bisa diungkap nama-nama orang penting lainnya yang terlibat.

Apakah Eddy Tansil itu benar-benar melarikan diri? Ataukah dia memang
sengaja diloloskan seolah-olah dia melarikan diri dari penjara oleh
pihak-pihak tertentu? Mungkinkah pelarian Eddy Tansil itu merupakan
hasil rekayasa? Mungkin saja setelah itu dia dijemput "teman-temannya"
kemudian dihabisi untuk menghilangkan jejak.
Seperti yang pernah saya katakan mungkin saja Eddy Tansil itu sudah
dibunuh, mayatnya dikremasi kemudian dibuang ke laut.

Dalam masa reformasi ini mungkinkah ada media massa yang mencoba
mengungkapkan kasus sebenarnya dari skandal ini? Seperti tuntutan
pengungkapan Kasus Marsinah, atau Kasus Udin?

--------------

Dalam menjalankan bisnisnya sendiri pun Keluarga Cendana lebih banyak
menggunakan nama keluarganya untuk menakut-nakuti para pembuat
keputusan. Termasuk para menteri. Bahkan para menteri yang terkait
dengan proyek-proyek mereka dijadikan alat untuk memuluskan keinginan
mereka mengadakan dan menjalankan suatu proyek.

Kasus proyek Mobil Timor adalah salah satu contoh yang paling bagus.
Dalam kasus ini sering terlihat betapa tidak berdayanya Menperindag,
Tunky Ariwibowo. Dia sering membuat keputusan-keputusan yang
disesuaikan dengan keingingan Tommy untuk memuluskan proyek
kontroversial tersebut. Bahkan disatukannya Dapartemen Perdagangan dan
Perindustrian adalah demi mempermulus proyek Tommy itu.

Bahkan sampai menjadi sengketa internasional pun Tunky tetap nekad
maju membela putra Soeharto yang jelas-jelas sudah melenceng itu.
Katanya pada waktu itu bahwa pemerintah Indonesia mempunyai Kartu As
untuk melawan dan mematahkan gugatan Jepang dan AS, serta beberapa
negara Eropa di WTO itu. Ternyata apa yang disebut Kartu As itu tidak
lebih dari "kartu dalam arti sebenarnya." Artinya dengan sangat mudah
disobek di sidang WTO.

Pelanggaran demi pelanggaran oleh anak-anak Soeharto itu bukannya
dicegah oleh Soeharto tetapi malah ikut membelanya mati-matian.
Seperti dalam kasus Timor itu lagi. Ketika proyek kontoversial itu
kesulitan dana, Presiden Soeharto "memaksa" beberapa bank pemerintah
dan swasta untuk mau mengucur dana kreditnya sebesar sekitar 700 juta
dollar AS. Hebatnya ini dilakukan tanpa ada feasibilty study dari
pihak kreditur sebagaimana layaknya dalam dunia perkreditan. Apalagi
dalam jumlah yang begitu besar. Gubernur BI pada waktu itu, Soedradjat
Djiwandono, bahkan sempat ditegur oleh Soeharto karena tidak mau
memberi kredit likuiditas BI kepada Timor.

Dalam kasus kredit likuiditas BI kepada BPPC pun demikian. Beberapa
tahun lalu BPPC juga sempat menerima KL dari BI, yang sampai sekarang
tidak jelas apakah sudah dilunasi ataukah belum. Beberapa tahun lalu
ketika BI menagih, dengan enteng Tommy berkata bahwa BPPC tidak punyai
duit. Kalau BI mau ambil saja cengkeh BPPC di gudang-gudang!

-------------

Pada kasus-kasus seperti di atas bukan lagi mereka mengikuti
peraturan, tetapi peraturanlah yang mengikuti mereka. Artinya di mana
mereka hendak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan bisnisnya,
maka menteri terkait akan dihubungi untuk membuat suatu Surat
Keputusan, atau peraturan yang isinya sejalan dengan keinginan mereka.
Jika sebelumnya ada peraturan yang menghalangi, maka peraturan itu
akan dicabut, untuk kemudian dibuat peraturan pengganti yang sesuai.
Peraturan atau Keputusan Menteri itu hanya sebagai alat melegitimasi
keinginan mereka demi memuluskan proyek tersebut.

Umpamanya saja dalam proyek PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III di
Surabaya.

Proyek Mbak Tutut yang berupa pembangunan dan pengelolaan terminal
peti kemas III Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, proyek Titiek
Prabowo berupa pembangunan fasilitas terminal peti kemas dan
pengembangan areal penunjang di muara Kali Lamong seluas 500 ha, dan
proyek Enno Sigit (anak Sigit Hardjojudanto sekaligus cucu Soeharto)
berupa studi kelayakan pengembangan pelabuhan Tanjung Perak di kawasan
teluk Kali Lamong-Kalianak seluas 1200 ha semuanya berdasarkan "surat
sakti" dari Menteri Perhubungan (Dhanutirto).

-------------

Seolah tidak bisa kenyang, Keluarga Cendana pun melirik ke
proyek-proyek vital bagi rakyat. Yakni air minum, minyak dan listrik.
Sedangkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 ada menyebutkan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Proyek-proyek listrik swasta yang pemilikannya jatuh pada Keluarga
Cendana (Bambang, Sigit, Sudwikatmono) membuat perusahaan listrik
negara, PLN, kelimpungan. Pasalnya pemerintah (lewat Keppres)
mewajibkan PLN untuk membeli listrik-listrik swasta tersebut. Tidak
perduli apakah itu akhirnya dipakai oleh PLN ataukah tidak. Padahal
kapasitas yang dimiliki PLN sudah lebih dari cukup untuk dijual kepada
rakyat.

Jadi PLN dipaksa untuk membelanjakan uangnya khusus untuk membeli
listrik-listrik swasta tersebut yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Apalagi harga jual listrik swasta itu ditentukan dalam dollar AS yang
sedang kuat-kuatnya menghantam rupiah! Bagaimana PLN tidak terancam
bangkrut kalau pendapatannya sendiri dalam bentuk rupiah!

Akhirnya risiko kerugian tersebut pun dibebankan kepada rakyat dengan
menetapkan "kebijaksanaan" penetapan kenaikan tarif listrik secara
periodik, dan kemudian di awal Mei lalu memutuskan kenaikan listrik
20 persen sebanyak tiga kali sampai bulan September 1998 yang kemudian
"direvisi" menjadi 18 persen sebanyak tiga kali sampai September 1998.

Sedangkan pada proyek-proyek air minum swasta telah dibentuk
kerjasamanya dengan Pemda DKI Jaya dan Jawa Timur, tetapi kemudian
mati di tengah jalan menyusul jatuhnya Soeharto.

Demikian pula hal yang mirip terjadi di Pertamina yang membuat BUMN
yang seharusnya meraih keuntungan besar dari bisnis minyak itu pun
terancam bangkrut dan membuat harga BBM yang dibeli rakyat menjadi
mahal!

Salah satu contohnya adalah Tommy Soeharto dengan Perta Oil Marketing
Ltd., dan Bambang Trihatmodjo dengan Permindo Trading memonopoli impor
BBM dan minyak mentah milik Pertamina sendiri. Padahal sebenarnya
Pertamina bisa melakukan impor sendiri. Akibat kewajiban Pertamina
untuk mebayar semacam komisi kepada kedua perusahaan milik anak-anak
Soeharto itu, ditambah adanya praktek meng-marked-up harga minyak
impor itu Pertamina harus membayar ratusan juta dollar AS secara
"mubazir."!
(Praktek ini seiring dengan semangat reformasi direncanakan akan
dihapus bulan Juli nanti).

----------------

Banyak pula praktek-praktek bisnis Keluarga Cendana ini yang hanya
bermodal dengkul, alias sama sekali tidak mengeluarkan uang. Hanya
berbekal nama Keluarga Cendana. Untuk kemudian meraih untung
sebesar-besarnya dari hasil kerja orang lain. Misalnya dengan
perolehan saham-saham kosong yang sudah saya singgung sebelumnya.

Atau mengadakan proyek yang seharusnya tidak perlu ada. Misalnya dalam
kasus listrik swasta dan impor minyak mentah di atas.

----------------

Celakanya semakin berkembang biak anggota Keluarga Cendana bisnis
keluarga itu pun merambah sampai ke cucu-cucu Soeharto. Misalnya Enno
Sigit yang saya sudah singgung di atas, dan kakaknya Ari Sigit.

Yang disebut terakhir ini terkenal pula dengan cara-cara bisnisnya
yang kontroversial. Atau yang saya sebutkan asal mengada-adakan proyek
bisnis yang seharusnya tidak perlu ada semata-mata agar bisa meraih
fulus.

Misalnya labelisasi minuman keras dan obat-obatan Cina yang beredar di
Indonesia, iuran wajib untuk pedagang burung walet yang harus dibayar
kepada perusahaannya (semacam badan penyanggah BPPC), pengadaan baju
seragam dan sepatu anak sekolah di seluruh Indonesia, dan sebagainya.
Bahkan beredar pula isu yang mengatakan cucu Soeharto itu adalah
Godfather-nya mafia bisnis obat terlarang: ectasy, di Indonesia.

------------------

Apa yang diuraikan di atas hanyalah sebagian kecil dari contoh-contoh
ilustrasi betapa buruknya etika bisnis Keluarga Cendana itu. Belum
lagi kalau kita bercerita menyangkut langsung Soeharto sendiri dengan
motornya Bob Hasan dengan Nusamba dan puluhan perusahaan berkedok
yayasan-yayasan.

Saking kebablasannya praktek-praktek bisnis seperti itu Keluarga
Cendana seolah-olah sudah menganggap negara ini milik mereka saja.
Sering pula sulit untuk membedakan apakah proyek itu sebenarnya milik
negara ataukah milik Keluarga Cendana.

"Demi kepentingan bangsa dan negara" yang sering diucapkan oleh
keluarga itu menjadi sulit dibedakan dengan demi kepentingan keluarga
tersebut semata.

Cocoklah akronim plesetan Bimantara yang beredar di masyarakat. Yaitu:
Bimantara = "bambang ingin menguasai nusantara," atau "bapak, ibu,
mantu, anak, tamak dan rakus."

---------------

Harus diingat praktek-praktek kotor dalam bisnis seperti yang
dilakukan Keluarga Cendana itu ternyata juga telah diteladani pula
sampai pada tingkat Provinsi, maupun Kotamadya/Kabupaten. Kalau
Keluarga Cendana menggunakan nama Bapaknya sebagai senjata. Maka di
tingkat Provinsi/Kotamadya/Kabupaten, anak-anak
gubernur/walikota/bupati itu juga sering menggunakan nama orangtuanya
untuk memenangkan suatu proyek di daerahnya masing-masing.

Tentu saja itu semua harus ditumpas habis! Tidak hanya bagi Keluarga
Cendana! Kita harapkan moment di mana kekayaan-kekayaan para pejabat,
maupun pengusaha yang diperoleh secara tidak benar (hasil KKN)yang
sedang diekspos habis-habisan. Juga dimanfaatkan untuk mengungkap
habis praktek-praktek sejenis di provinsi-provinsi, maupun daerah
tingkat II. Tentu saja tidak sampai mengekpos saja. Tetapi harus
dibongkar habis dan jika memenuhi syarat dibawa ke pengadilan yang
jujur, berwibawa, adil, dan bebas dari pengaruh manapun juga. Kita
harapkan semua itu akan segera menjadi kenyataan.***

ETIKA BISNIS

http://www.timah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=23&Itemid=35
BUDAYA KERJA TIMAH
Budaya kerja perusahaan adalah budaya yang memiliki pengaruh kejiwaan yang besar dalam membentuk perasaan, pikiran, pembicaraan, sikap kerja dan tindakan karyawan dalam bekerja.

Di dalam suatu perusahaan berkumpul banyak orang dengan berbagai karakter yang harus bekerja sama bahu membahu untuk mencapai tujuan perusahaan. Meskipun adanya perbedaan sikap hidup, tata nilai, atau sikap kerja masing-masing orang, sebagai satu kesatuan mereka harus selaras atau menyelaraskan diri dengan budaya kerja perusahaan demi tercapainya tujuan perusahaan.
Budaya Kerja, yang akan menyearahkan tata nilai organisasi dengan tata nilai pribadi akan menumbuhkan "MANUSIA TIMAH" YANG UNGGUL, TANGGUH & BERMARTABAT.

Budaya kerja Timah yang ditanamtumbuhkan adalah budaya kerja 3K berlandaskan pada

* KEBERSAMAAN
* KETERBUKAAN
* KEBERSIHAN

Setiap karyawan Timah harus dapat menyelaraskan diri dengan budaya kerja 3K.

Mereka yang sulit menyelaraskan diri, perlu menentukan sikap yang jelas, karena perusahaan tidak akan mengubah budaya kerja hanya semata-mata untuk kepentingan satu dua orang saja.

Dengan demikian semua karyawan PT Timah (Persero) Tbk harus menempa diri untuk menyamakan dan menyatukan keyakinan dan tekad guna menerapkan sikap kerja yang berlandaskan budaya kerja 3K dan meninggalkan budaya kerja yang tidak sesuai.

Bila kita semua dengan tekad bulat dan sepenuh hati menghayati dan menerapkan sikap kerja yang berlandaskan budaya kerja 3K, maka Wawasan Usaha Timah pasti akan dapat tercapai.
Kebersamaan
Landasan kebersamaan harus kita tempatkan dalam jiwa masing-masing, untuk menghayati: masalahmu adalah masalahku dan kepentinganku adalah kepentinganmu. Dengan penghayatan tersebut akan terbangkitkan semangat kebersamaan untuk menggalang kekuatan mencapai tujuan perusahaan.

Tujuan perusahaan adalah tujuan bersama yang hanya akan dapat dicapai dengan semangat kebersamaan dalam bekerja.

Paham egoisme dan arogansi sektoral, yaitu menganggap dirinya atau satuan kerjanya.

* Yang paling penting
* Yang paling berjasa
* Lebih diperlukan daripada yang lain
* Lebih hebat daripada yang lain,

Akan menimbulkan situasi kerja yang tidak serasi, dan berakibat masing-masing berjalan dengan cara dan kepentingannya sendiri-sendiri. Sepandai apapun diri kita, apabila tidak mempunyai semangat kebersamaan, tujuan perusahaan tidak akan tercapai.
Keterbukaan
Landasan Keterbukaan adalah kesiapan diri dalam membuka peluang berkomunikasi terhadap gagasan, saran, pembaharuan, dan teknologi yang berkembang di luar kita. Keterbukaan akan menumbuhkan sikap dan kekuatan untuk selalu melakukan pembaharuan yang berdayaguna dalam menghadapi persaingan.

Untuk memiliki budaya keterbukaan, syarat pokok yang diperlukan adalah kemampuan berkomunikasi aktif. Anggapan bahwa kita telah melakukan yang terbaik dan benar harus diuji kembali dan dirumuskan dengan membandingkan perkembangan di luar perusahaan.
Kebersihan
Landasan Kebersihan memiliki arti yang luas, mencakup bersih lahir dan bersih batin.

Bersih lahir diungkapkan melalui tindakan-tindakan yang tidak merusak lingkungan dan tidak mengganggu kenyamanan suasana kerja orang lain. Tidak merusak lingkungan berarti perusahaan dapat memberikan manfaat lebih bagi masyarakat sekitarnya, dan tidak mengganggu kenyamanan suasana kerja orang lain diartikan bahwa lingkungan tempat kerja harus selalu bersih, tertata harmonis dan sistematis.

Bersih secara batin adalah sikap tulus dan jujur yang dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang halal dan yang haram.

Kita harus berbudaya bersih agar mampu mengendalikan diri, menolak komisi, suap, menghindari manipulasi dan korupsi, menolak pemberian dalam bentuk apapun yang dapat merusak moral dan mengganggu pekerjaan serta merugikan perusahaan.
SIKAP KERJA PT Timah (Persero) Tbk
Penerapan budaya kerja 3K secara menyeluruh oleh karyawan PT Timah (Persero) Tbk akan membentuk tata nilai organisasi dan tata nilai pribadi yang serasi dan yang pada gilirannya akan menimbulkan suasana kerja positif dalam menumbuhkan landasan sikap kerja karyawan PT Timah (Persero) Tbk. Landasan sikap kerja karyawan PT Timah (Persero) Tbk terdiri dari 5 unsur, yakni PTPRS:

* PERCAYA
* TERBUKA
* POSITIF
* RASIONAL
* SADAR BIAYA


PERCAYA
Dengan menerapkan sikap kerja positif dan terbuka, akan terbentuk kondisi yang menunjang untuk timbul dan terbinanya saling percaya antara semua karyawan, antara pimpinan dan bawahan maupun antar sektoral. Kondisi saling percaya akan menumbuh-kembangkan sikap kerja percaya yang sangat dibutuhkan untuk menimbulkan sinergi maksimal dan meningkatkan fungsi kerjasama kelompok dalam rangka pengembangan perusahaan.

TERBUKA
Sikap kerja terbuka diwujudkan dalam tiga tindakan pokok, yaitu:

* Aktif Memberikan Informasi yang Benar
Berikanlah informasi yang benar pada alamat yang tepat. Tindakan ini akan memperlancar proses penyelesaian pekerjaan. Apabila kita mempersulit pemberian data dan informasi, berarti kita dengan sengaja menghambat kemajuan perusahaan. Tindakan menahan atau bahkan memanipulasikan data dan informasi merupakan tindakan yang merugikan dan dapat menghancurkan perusahaan yang pada akhirnya akan menghancurkan masa depan kita. Keterbukaan informasi dibatasi oleh seberapa jauh tingkat kerahasiaan yang diijinkan untuk diketahui oleh tingkat jabatan tertentu. Dengan demikian tidak semua tingkat jabatan harus memperoleh informasi yang sama dan hal ini benar-benar harus kita pahami sesuai dengan posisi jabatan kita.
* Saling Mengingatkan
Manusia Timah harus selalu mengambil prakarsa untuk mencegah dan mengingatkan rekan sekerja agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang berakibat merugikan perusahaan. Untuk kepentingan perusahaan, jangan sungkan dan jangan ewuh pakewuh.
* Satria
Manusia Timah adalah seorang kesatria yang dalam menjalankan tanggung jawabnya diwujudkan secara terbuka dengan menyatakan kesanggupan memikul risiko dalam melaksanakan tugas dan kewajiban tersebut.

Rasa setia pada cita-cita dan wawasan perusahaan perlu diungkapkan secara terbuka untuk menjaga kesinambungan usaha seluruh karyawan dalam mewujudkan Manusia Timah yang Tangguh, Unggul dan Bermartabat.
POSITIF
Manusia Timah harus senantiasa berpikir positif. Dengan sikap ini, Manusia Timah mampu:

* Melihat orang lain pertama-tama dari sisi kebaikannya dan keunggulannya, bukan dari sisi keburukan dan kelemahannya.
* Melihat pekerjaan dari sisi manfaat atau kegunaannya, bukan dari sisi berat dan sulitnya.

Dengan demikian kita tidak akan berburuk sangka kepada siapapun. Kita harus mampu melihat hal yang positif dari orang lain agar kita tetap dapat bekerjasama dalam memajukan perusahaan dan kita harus bersyukur pula atas kelebihan orang lain karena kita dapat belajar dari pengalamannya. Dengan berpikir positif, kita akan lebih bijaksana dan dapat menyelesaikan masalah apapun dengan pandangan yang lebih jernih serta selalu optimistis dan bersemangat untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang berkesinambungan dalam mengembangkan perusahaan.
RASIONAL
"Manusia Timah" adalah manusia yang rasional. Ini berarti setiap rencana, keputusan, tindakan dan pengendalian selalu berpola pikir yang berlandaskan pada logika/nalar, faktual, lugas, obyektif, tidak emosional dan adil. Dengan berpola pikir rasional kita mampu berpikir strategis dan selalu obyektif dalam lingkup perusahaan dan untuk kepentingan perusahaan. Seorang Manusia Timah selalu bersikap rasional. Pantas dalam berpikir, bertindak, berperilaku, bertutur, berpakaian dan sebagainya. Dia jujur dan tidak pernah berlebihan, dia juga rendah hati tetapi tidak rendah diri. Dia memutuskan dengan rasional apa yang pantas untuk dirinya, untuk keluarganya dan terutama dia tahu apa yang terbaik dan pantas dilakukannya untuk perusahaan yang menjadi sumber penghidupannya.

SADAR BIAYA
Penerapan sikap kerja percaya, terbuka, positif dan rasional akan menimbulkan kondisi kerja yang dinamis berlandaskan efisiensi dan efektivitas untuk mencapai cita-cita perusahaan.

Kondisi kerja ini membutuhkan manusia-manusia yang selalu siaga atau siap memecahkan serta menanggulangi permasalahan-permasalahan yang ada. Kondisi siaga ini membuat mereka selalu responsif dan dinamis menghadapi setiap perubahan maupun ancaman. Mereka produktif dan selalu siaga untuk menangkal kemungkinan-kemungkinan yang bisa merugikan atau menghambat perkembangan perusahaan, karena itu mampu bertindak proaktif atau berinisiatif untuk mengamankan kepentingan perusahaan dan selalu mengutamakan keuntungan perusahaan.

Setiap saat seorang Manusia Timah yang sadar biaya selalu sadar bahwa biaya yang timbul atas keputusan yang diambil untuk bertindak atau tidak bertindak akan bisa merugikan atau menguntungkan perusahaan dan akan mempengaruhi efisiensi dan efektivitas perusahaan secara umum. Sikap kerja sadar biaya adalah sikap kerja seorang Manusia Timah, baik dalam bekerja maupun dalam kehidupan pribadinya.
HAKEKAT MANUSIA TIMAH

* MANUSIA TIMAH bekerja demi hidup yang bermakna.
* MANUSIA TIMAH adalah pekerja yang dinamis, kreatif, dan berprestasi.
* MANUSIA TIMAH adalah pekerja bercita-cita tinggi.
* MANUSIA TIMAH sadar akan keselarasan lingkungan dan kepedulian sosial.
* MANUSIA TIMAH adalah manusia yang unggul, tangguh dan bermartabat.